PEMBUKTIAN ELEKTRONIK DI PENGADILAN AGAMA
Oleh: Oktoghaizha Rinjipirama, S.H.I.
Hakim Pengadilan Agama Tanjung Selor
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Menurut M. Yahya Harahap, S.H. dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan Penggugat dan Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang di dalilkan atau dibantah dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hak yang masih disengketakan atau hanya sepanjang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara.
1. Latar Belakang
Menurut M. Yahya Harahap, S.H. dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan Penggugat dan Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang di dalilkan atau dibantah dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hak yang masih disengketakan atau hanya sepanjang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara.
Seiring berkembangnya zaman dan pola fikir masyarakat saat ini, segala hal telah berkaitan dengan digitalisasi informasi, tidak terkecuali praktek pembuktian di Pengadilan Agama. Hal tersebut pun direspon oleh Pemerintah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan dalam penerapannya di persidangan khususnya di Pengadilan Agama.
Seiring dengan hal tersebut Mahkamah Agung juga menerbitkan beberapa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan berbagai petunjuk teknis lainnya yang mengatur praktik beracara dalm perkara perdata. Salah satu diantaranya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tanggal 6 Agustus 2019 tentang Admistrasi Perkara dan Persidangan secara elektronik.
Pada era digital saat ini, pembuktian elektronik sudah tidak terelakkan. Pembuktian elektronik adalah proses penggunaan bukti elektronik dalam persidangan untuk mendukung argumentasi dan membuktikan kebenaran sebuah fakta. Di pengadilan agama, pembuktian elektronik memiliki peranan untuk memperkuat keabsahan dokumen dan informasi digital yang menjadi dasar putusan hakim.
2. Tujuan
Pada artikel ini, akan dibahas mengenai pengertian dan pentingnya pembuktian elektronik di pengadilan agama. Selain itu, akan dijelaskan tentang peraturan hukum yang mengatur pembuktian elektronik serta dampaknya dalam proses persidangan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya pembuktian elektronik di Pengadilan Agama.
Pada artikel ini, akan dibahas mengenai pengertian dan pentingnya pembuktian elektronik di pengadilan agama. Selain itu, akan dijelaskan tentang peraturan hukum yang mengatur pembuktian elektronik serta dampaknya dalam proses persidangan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya pembuktian elektronik di Pengadilan Agama.
B. Pembahasan
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pembuktian Elektronik mengatur mengenai penggunaan dan penerimaan bukti elektronik di pengadilan. Melalui undang-undang ini, pengadilan agama memiliki dasar hukum yang kuat untuk menerima dan mempertimbangkan bukti elektronik dalam proses persidangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pembuktian Elektronik mengatur mengenai penggunaan dan penerimaan bukti elektronik di pengadilan. Melalui undang-undang ini, pengadilan agama memiliki dasar hukum yang kuat untuk menerima dan mempertimbangkan bukti elektronik dalam proses persidangan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE dijelaskan bahwa Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE. Dalam praktik peradilan, pengadilan telah mengadopsi penggunaan pembuktian elektronik sebagai alat untuk memvalidasi klaim atau membantah fakta dalam suatu perkara. Ini meliputi pengumpulan bukti elektronik, analisis data, dan presentasi bukti elektronik dalam persidangan.
Pada saat ini telah terjadi perubahan macam-macam alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan yang dikenal dengan alat bukti elektronik (dianggap sebagai bukti) seperti foto, faksimili, layanan pesan singkat (short message system) dan lain-lainnya, walaupun penggunaanya sebagai alat bukti di pengadilan masih dipertanyakan validitasnya.
Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan system elektronik yang sesuai dengan bukti Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bukti elektronik memiliki kekuatan sebagai bukti yang bebas artinya diserahkan sepenuhnya pada hakim yang mengadili suatu perkara.
Dalam persidangan secara e-litigasi dengan sidang konvensional terdapat perbedaan yaitu adanya kewajiban bagi penggugat dan tergugat untuk mengunggah semua dokumen bukti surat yang telah bermeterai ke dalam sistem informasi pengadilan. Selebihnya persidangan pembuktian surat sama persis dengan persidangan konvensional dimana penggugat dan tergugat menyerahkan fotokopi bermeterai dengan menunjukkan dokumen aslinya di muka sidang yang telah ditetapkan untuk itu.
Alat bukti elektronik dan/atau dokumen elektronik bisa menjadi alat bukti yang berdiri sendiri atau alat bukti petunjuk apabila terhadap alat bukti tersebut telah dilakukan yang dikenal dengan istilah Digital Forensic untuk menjamin kesahihannya sebagai alat bukti. Pengertian forensic digital secara sederhana adalah keseluruhan proses dalam mengambil, memulihkan, menyimpan, memeriksa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat pada sistem elektronik berdasarkan cara dan dengan alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian.
Untuk itu hakim dapat menanyakan kepada ahlinya, yang tentu saja sudah memiliki sertifikasi digital forensic. Adapun tentang tahapan yang berkaitan dengan digital forensic yaitu: pertama, write protect yaitu tahpan mengunci data asal agar data-data tersebut tidak mengalami perubahan. Kedua, forensic imaging atau dikenal juga dengan istilah cloning sehingga akan diperoleh data yang identic dengan data asal (image file). Ketiga, verifying yaitu tahap penilaian dimana data yang di ¬cloning harus identik dengan data asal yaitu nilai dari image file.
Apabila ketiga tahapan tersebut tidak dilakukan dan hasil data tidak identik dengan data asal maka hakim harus mengesampingkan alat bukti dan/atau dokumen elektronik tersebut. Perlu dipahami oleh hakim bahwa untuk dapat dijadikan alat bukti yang meyakinkan, bukti elektronik harus memenuhi syarat formil dan materiil yaitu:
a) Syarat formil bukti elektronik berupa autensitas (diambil dari milik yang sah) dan terjaga integritasnya. Untuk memastikan integritas bukti elektronik terjaga diperlukan serangkaian digital forensik yang sangat ketat. Hal itu disebabkan sifat bukti elektronik yang rentan dan mudah di modifikasi atau diubah.
b) Syarat materiilnya berupa ada hubungan yang relevan dengan perkara yang sedang disidangkan.
a) Syarat formil bukti elektronik berupa autensitas (diambil dari milik yang sah) dan terjaga integritasnya. Untuk memastikan integritas bukti elektronik terjaga diperlukan serangkaian digital forensik yang sangat ketat. Hal itu disebabkan sifat bukti elektronik yang rentan dan mudah di modifikasi atau diubah.
b) Syarat materiilnya berupa ada hubungan yang relevan dengan perkara yang sedang disidangkan.
Pembuktian elektronik ini hakim dapat menggunakannya sebagai alat bukti dengan bantuan persangkaan hakim atau mendengar keterangan ahli (saksi ahli) dalam menerima dokumen elektronik pada persidangan secara elektronik. Walaupun Pasal 5 Undang-Undang ITE menyatakan bahwa informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah selain alat bukti yang diatur dalam hukum acara, tetapi hakim tidak harus menerimanya begitu saja sebagai alat bukti tanpa ada penjelasan dari ahli digital forensik tentang kebenaran bukti tersebut.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Dalam sistem peradilan agama, pembuktian elektronik memiliki peranan yang sangat penting dan relevan. Teknologi digital menjadi sarana yang efektif untuk membuktikan kebenaran dan keabsahan fakta. Namun, penting untuk menjaga kehandalan, kecukupan, dan keabsahan bukti elektronik yang diajukan.
1. Kesimpulan
Dalam sistem peradilan agama, pembuktian elektronik memiliki peranan yang sangat penting dan relevan. Teknologi digital menjadi sarana yang efektif untuk membuktikan kebenaran dan keabsahan fakta. Namun, penting untuk menjaga kehandalan, kecukupan, dan keabsahan bukti elektronik yang diajukan.
2. Saran
Dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembuktian elektronik di pengadilan agama, perlu dilakukan edukasi dan pelatihan bagi hakim, pengacara, dan pihak yang terkait. Selain itu, perlu diberikan perhatian lebih terhadap kelengkapan administrasi yang berkaitan dengan pembuktian elektronik.
Dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembuktian elektronik di pengadilan agama, perlu dilakukan edukasi dan pelatihan bagi hakim, pengacara, dan pihak yang terkait. Selain itu, perlu diberikan perhatian lebih terhadap kelengkapan administrasi yang berkaitan dengan pembuktian elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Prof. Dr, S.H. S.Ip. M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, 2000.
Amran Suadi, Dr. Drs. S.H., M.Hum., M.M., Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia Menakar Beracara di Pengadilan Secara Elektronik Edisi Kedua, Kencana, Jakarta 2020.
Efa Laila Fakhriah, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, PT. Refika Aditama, Bandung, 2017.
Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik, Perikatan, Pembuktian dan Penyelesaian Sengketa, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014.