Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik pada Hukum Acara Perdata

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK
PADA HUKUM ACARA PERDATA

Muhammad Nasir, S.H.I., M.H.
Pengadilan Agama Tanjung Selor

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Legalitas alat bukti elektronik terdapat pada Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi elektronik (baca; UU ITE), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2).
Nomenklatur alat bukti elektronik pada Undang-Undang menjadi suatu keharusan, karena sistem hukum pembuktian di Indonesia menganut closed and restricted evidentiary system atau sistem pembuktian yang tertutup dan terbatas, hal mana hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil atau menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang yaitu surat, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah., Sistem tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 164 HIR/ 284 R.Bg. dan Pasal 1866 KHUPerdata. Sistem ini tentunya berbeda dengan sistem pembuktian terbuka (Opened system) yang dianut di negara lahirnya hukum acara perdata yaitu Belanda.
Dengan terbitnya UU ITE maka tidak ada lagi perdebatan mengenai status hukum alat bukti elektronik pada hukum acara baik pidana maupun perdata. Namun demikian pada hukum pembuktian tidak semua alat bukti yang ditentukan secara otomatis menjadi alat bukti ketika diajukan di Persidangan. Alat-alat bukti dimaksud harus memenuhi sejumlah syarat formil dan materil. Lebih lanjut tidak semua alat bukti yang telah memenuhi syarat formil dan materil memiliki nilai dan kekuatan pembuktian, karena dalam penerapan hukum pembuktian, suatu alat bukti dapat memiliki nilai atau kekuatan pembuktian jika telah mencapai batas minimal pembuktian.
Kekuatan pembuktian suatu alat bukti akan mempengaruhi penilaian hakim terhadap alat bukti yang dimaksud yang nantinya akan menetukan terhadap penjatuhan putusan, maka penulis tertarik membahas “bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Hukum Acara Perdata
2. Tujuan
Untuk mengetahui nilai kekuatan Pembuktian alat bukti elektronik pada hukum acara perdata, agar dapat menjadi dasar hukum bagi hakim menilai kekuatan alat bukti elektronik pada proses pembuktian perkara perdata.
B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Perdata
1. Kekuatan Pembuktian (Vis Probandi) dari Alat-alat Bukti
Dalam praktiknya, dikenal beberapa tingkatan kekuatan pembuktian alat bukti yaitu:
1. Kekuatan bukti permulaan (begin bewijskarcht).
Kekuatan bukti permulaan adalah kekuatan bukti pada alat bukti yang belum memenuhi batas minimal pembuktian, atau belum dapat membuktikan apa-apa. Achmad Ali menamakan kekuatan tersebut dengan Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijsracht).
2. Kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht)
Kekutan pembuktian bebas adalah kekuatan pembuktian pada alat bukti yang penilaian dan penghargaannya diserahkan kepada hakim.
3. Kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijskracth)
Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian pada alat bukti yang menyebabakan nilai pembuktian pada alat bukti tersebut cukup pada dirinya sendiri.
4. Kekuatan pembuktian mengikat (bidende bewijskracht).
Kekuatan pembuktian mengikat adalah kekuatan pembuktian alat bukti yang mengikat pihak- pihak tertentu.
Kekuatan pembuktian menentukan (beslissende bewijskracht).
Kekuatan pembuktian yang menentukan adalah kekuatan pembuktian alat bukti yang eksistensinya menentukan putusnya suatu perkara.
5. Kekuatan pembuktian memaksa (dwingen bewijskracht).
Kekuatan pembuktian memaksa adalah kekuatan pembuktian pada alat bukti yang eksistensinya memaksa para pihak untuk meyakininya dan menerima konsekuensi yang dilahirkan dari alat bukti tersebut.
6. Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (onvolledig bewijskracht).
Kekuatan pembuktian lemah atau tidak lengkap ini adalah alat bukti yang tidak memberikan kepastian yang cukup pada hakim.
2. Menilai Kekuatan Alat Bukti Elektronik
Alat bukti elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.
Suatu informasi elektronik bernilai secara hukum karena kesetaraan fungsional keberadaannya adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi yang tertulis di atas kertas, sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang nilai hukum dari suatu rekaman elektronik (legal value of electronic records) karena memenuhi unsur tertulis (writing), bertanda tangan (signed), dan asli (original).
Nilai kekuatan pembuktian suatu informasi elektronik sangat bergantung kepada sejauhmana realibilitas sistem keamanan baik dalam sistem informasi maupun terhadap sistem komunikasi elektronik itu sendiri. Hal tersebut akan memperlihatkan adanya jenjang tertentu, yakni dari suatu tingkatan yang paling rendah sampai dengan tingkatan yang paling tinggi, yakni menjadi alat bukti yang berdiri sendiri.
a. Keberadaan informasi elektronik dalam tingkatan yang paling rendah secara obyektif tidak terjamin validitasnya dalam menjelaskan adanya suatu peristiwa hukum yang direkamnya dan tidak mampu menjelaskan atau memastikan siapa subyek hukum yang bertanggung jawab dari padanya.
b. Dalam tingkatan yang menengah, keberadaan informasi elektronik dapat salah satunya memenuhi dari kelima unsur dalam secured communication, namun masih terbuka adanya penampikan dari yang bersangkutan karena akuntabilitas atau reabilitas sistem elektronik yang dipakai tidak berjalan dengan baik (tidak terakreditasi), sehingga dengan sendirinya dapat dengan mudah di tampik oleh orang yang bersangkutan.
c. Dalam tingkatan yang paling kuat (high level), keberadaan informasi elektronik secara obyektif terjamin validitasnya dan mampu menerangkan siapa subyek hukum yang bertanggung jawab serta sistem elektroniknya pun mampu terjamin berjalan dengan baik (terakreditasi), sehingga tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, maka apa yang dinyatakan oleh sistem tersebut dapat dianggap valid secara teknis dan hukum. Dalam konteks seperti ini maka substansi suatu informasi elektronik telah terjaga dengan baik dan selayaknya secara materil dapat dipersamakan dengan akta otentik.
Adapun mengenai dokumen elektronik, dapat dikaji sebagaimana dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).
Penjelasan umum undang-undang tersebut menyatakan bahwa;
“Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas”.
Hal ini, berarti bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik dalam praktik perkara perdata dipersamakan dengan kekuatan alat bukti tulisan (surat).
Kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, menurut penulis untuk menilai kekuatan pembuktiannya dipandang perlu untuk memahami kekuatan pembuktian alat bukti tertulis (surat) sebagaimana yang tercantum dalam KUH Perdata. Hal mana jika dipersfektifkan dalam ranah hukum acara perdata, alat bukti tertulis (surat) tetap membuka peluang kemungkinan adanya bukti lawan (tegenbewijs).
Oleh karena baik informasi elektronik yang tidak selamanya berada pada kuwalitas tingkatan yang paling kuat (high level), kekuatan pembuktiannya tidak dapat dipastikan, begitupula dokumen elektronik yang dipersamakan dengan alat bukti tertulis (surat), tetap memungkinkan untuk dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan (tegenbewijs) sebagaimana alat bukti tertulis (surat) sehingga patut dikatakan bahwa alat bukti elektronik nilai kekuatannya belum ditetapkan secara pasti dan final, apabila dipahami berdasarkan dengan ajaran a Contrario , bahwa segala yang tidak ditetapkan maka itu berarti bebas dan tidak terikat, terlebih lagi jika dihubungkan dengan teori pembuktian, maka nilai kekuatan pembuktian alat bukti elektronik adalah bebas (vrijbewisjkracht). Yang berarti Hakim diberikan kebebasan dalam menilai kekuatan alat bukti elektronik tersebut.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Nilai Kekuatan pembuktian alat bukti elektronik adalah kekuatan pembuktian bebas (vrijbewisjkracht). Artinya hakim diberikan kebebasan dalam menilai kekuatan alat bukti elektronik tersebut.
2. Saran
Kekuatan alat bukti elektronik diharapkan memiliki nilai kekuatan yang tegas sehingga dapat menjadi dasar hukum bagi hakim untuk menilai kekuatan alat bukti elektronik pada proses pembuktian perkara perdata, dan tidak menimbulkan keraguan para pihak dalam mengajukannya sebagai alat bukti. Di setiap Pengadilan harus ada alat penguji keotentikan alat bukti elektronik agar alat bukti tersebut dapat dinilai kekuatan pembuktiannya secara pasti.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad & Wiwie Heryani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, 2012.
Asnawi, M.Natsir, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia,UII Press, Yogyakarta, 2013.
Hashim Kamali, Muhammad, Prinsip.dan.Teori-.teori.Hukum.Islam, Pustaka Pelajar, .Yogyakarta, 1991.
Makarim (b), Edmon Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2005.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006.
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/slims/pn-jakartaselatan/index.php?p=show_detail&id=1922,diakses Rabu, 11 Oktober 2023, pukul 10.26 WIT.