Bukti Elektronik dalam Perkara Perceraian

Bukti Elektronik dalam Perkara Perceraian

Oleh : Ayu Nur Rahmawati, S.H.I., M.H.I.
Pengadilan Agama Tarakan

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi saat ini mengubah pola pikir masyarakat yang melek teknologi tidak luput termasuk dalam pembuktian perkara di pengadilan dalam perkara perceraian mulai melibatkan teknologi digital. Di Indonesia, beberapa perkara  perceraian menggunakan bukti elektronik untuk membuktikan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Maraknya pengajuan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian ini terjadi karena minimnya saksi yang mengetahui penyebab perselisihan dan pertengkaran para pihak dalam perkara perceraian, sehingga untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya para pihak mengajukan alat bukti elektronik.Pengajuan alat bukti elektronik mulai memiliki payung hukum sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) sehingga terdapat penambahan jenis alat bukti di persidangan yakni informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik berbentuk tulisan, foto, suara, gambar yang disimpan pada flash disk yang dapat dibuka melalui perangkat komputer merupakan dokumen elektronik.Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan UU ITE, eksistensi atau keberadaan mengenai Bukti Elektronik semakin diakui didalam praktek beracara dipersidangan. Hal tersebut dikarenakan telah secara jelas diatur didalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE yang menyebut bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” dan selanjutnya didalam ayat (2) disebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;Didalam ketentuan ayat (2) tersebut telah lebih tegas dinyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti yang sah bukan saja terhadap Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP akan tetapi berlaku juga terhadap Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur didalam Pasal 164 HIR/284 RBg;Selanjutnya didalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 disebutkan “Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistim Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem Elektronik. Oleh karena itu dengan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji tentang bukti elektronik di dalam perkara perceraian;

 

B. Tujuan Penulisan
Bahwa tujuan penulisan artikel ini untuk mengetahui;
a. Apakah bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara perceraian?
b. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara perceraian?II.

II. Pembahasan
A. Kedudukan Bukti Elektronik dalam Perkara Perceraian
Membuktikan dalam memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara perceraian yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan alat bukti. Alat bukti adalah sesuatu yang digunakan untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Dalam hukum acara perdata, alat bukti diatur dalam Pasal 164, 153, 154 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 284, 180, 181 Rechtreglement  voor  de Buitengewesten (RBG).  Sebagaimana  diatur  dalam  pasal  164  HIR/284 RBG, alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata dalam perkara perceraian terdiri dari :

1) Surat;
Alat bukti surat terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni:
a) Akta; dan
Akta adalah surat yang sengaja sejak awal dibuat untuk pembuktian. Akta terdiri dari:
1. Akta autentik;
Menurut Pasal 1868 BW, akta autentik adalah suatu akta  yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa di tempat dimana akta di buat. Adapun yang dimaksud dengan pegawa-pegawai umum tersebut adalah notaris, polisi, dan hakim.
2. Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang membuatnya serta mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang seperti notaris, namun hanya dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
b) Surat biasa
Surat biasa merupakan bukti surat yang awalnya tidak diperuntukkan untuk dijadikan bukti, namun jika di suatu hari alat bukti surat tersebut bisa membuktikan suatu perkara di pengadilan, maka alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan sebagai pembuktian.

2) Saksi-saksi;
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian di depan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara. Keterangan seorang saksi harus disampaikan secara lisan dan pribadi artinya tidak boleh diwakilkan kepada oeang lain dan harus dikemukakan secara lisan di sidang pengadilan.

Pada prinsipnya setiap orang boleh menjadi saksi kecuali orang tertentu yang tidak dapat didengar sebagai saksi, antara lain:
a) Keluarga sedarah dan semenda;
b) Istri atau suami, meskipun telah bercerai;
c) Anak-anak yang umurnya di bawah 15 tahun;
d) Orang gila,

3) Persangkaan;
Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR, namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan persangkaan, melainkan hanya menentukan bahwa persangkaan itu dapat digunakan sebagai alat bukti apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu  dan  ada  persesuaian  satu  sama  lainnya.  Dalam  Pasal  1915

KUHPerdata, dikenal adanya 2 (dua) persangkaan, yaitu:
a) Persangkaan yang didasarkan atas undang-undang (praesumptiones juris); dan
b) Persangkaan berdasarkan kenyataan (praesumptiones factie).

Sedangkan dalam 1916 KUHPerdata yang ditentukan sebagai persangkaan adalah sebagai berikut:
a) Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sidat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang;
b) Persitiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menerapkan hak pemilikan atau pembebasan dari utang;
c) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim;
d) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.

4) Pengakuan; dan
Pengakuan dalam HIR diatur dalam Pasal 174,175 dan Pasal 176. Apabila melihat ketentuan Pasal 164 HIR, maka jelas pengakuan menurut undang-undang merupakan salah satu alat bukti dalam proses penyelesaian perkara perdata. Berdasarkan Pasal 1926 KUHPerdata, pengakuan dapat dilakukan baik langsung oleh orang yang bersagkutan maupun oleh orang lain yang diberi kuasa khusus untuk itu, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam mengakui sesuatu hal di depan hakim haruslah berhati-hati karena pengakuan yang dilakukan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa pengakuannya adalah akibat dari kekhilafan tentang fakta-fakta.

Menurut Pasal 174 HIR, pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat. Sedangkan pengakuan di luar sidang, menurut Pasal 175 HIR, kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim atau dengan kata lain pengakuan di luar sidang berarti bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian atau hanya menganggapnya sebagai bukti permulaan.

5) Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan 177 HIR. Alat bukti sumpah dapat digunakan sebagai upaya terakhir dalam membuktikan kebenaran dari suatu proses perkara perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah merupakan suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

Dalam  Hukum  Acara  Perdata  dikenal  3  (tiga)  macam  sumpah sebagai alat bukti, yakni:
a) Sumpah Pelengkap (Suppletoir)
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Sumpah pelengkap diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RBG.
b) Sumpah Penaksiran (Aestimatoir, Schattingseed)
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Syarat pembebanan sumpah penaksiran adalah kesalahan pihak tergugat telah terbukti, namun jumlah kerugian sulit ditentukan. Sumpah penaksiran diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RBG/Pasal 1940 KUHPerdata.
c) Sumpah Pemutus (Decisoir)

Merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu melalui perantaraan hakim diperintahkan kepada pihak lainnya untuk menggantungkan pemutusan perkara tersebut. Sumpah decisoir merupakan upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara yang keberadaannya diatur dalam Pasal 156, 157, 177 HIR.

Syarat sahnya dokumen elektronik ialah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUITE, khususnya dalam Pasal 6 UUITE yakni “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.

Urgensi otentifikasi bukti  elektronik  dipersidangan  adalah  untuk menilai bukti elektronik tersebut dapat diterima dipersidangan sebagai alat bukti yang sah sehingga dapat meyakinkan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Untuk itu didalam proses persidangan ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan Hakim dalam hal menilai otentifikasi bukti elektronik, antara lain :
1. Admissable, yaitu diperkenankan atau diakui oleh UU untuk dipakai sebagai alat bukti atau dengan kata lain harus ada pengaturan yang tegas terhadap bukti elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti dipersidangan;
2. Reliable, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya;
3. Necessity,  yakni   alat   bukti   tersebut   memang   diperlukan   untuk membuktikan suatu fakta;
4. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan;

Selanjutnya, selain beberapa kriteria tersebut diatas, secara umum terdapat empat prinsip yang mendasari seluruh rangkaian kegiatan dalam menangani bukti elektronik agar bukti tersebut dapat menjadi sah untuk disajikan ke pengadilan, yaitu :
1. Prinsip menjaga integritas data, data yang ditemukan harus dijaga keasliannya dengan cara tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan data yang tersimpan didalamnya menjadi berubah atau rusak;
2. Prinsip personel yang kompeten, personel yang menangani bukti elektronik harus berkompeten, terlatih dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang dibuat dalam proses identifikasi, pengamanan dan pengumpulan bukti elektronik;
3. Prinsip Audit Trail, atau istilah teknis yang dikenal sebagai Chain of Custody (CoC) harus dipelihara dengan cara mencatat setiap tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektron
4. Prinsip Kepatuhan Hukum, personel yang bertanggung jawab terhadap penanganan kasus terkait pengumpulan, akuisisi dan pemeriksaan serta analisis bukti elektronik tersebut harus dapat memastikan bahwa proses yang berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku;

Dalam hal dokumen elektronik telah diserahkan dipersidangan menurut tata cara yang diterima semua pihak berperkara, apabila pihak lawan ingin melihat dokumen elektronik yang akan diajukan sebagai alat bukti tersebut ketentuan Pasal 137 HIR.

B. Kekuatan  Pembuktian  Alat  Bukti  Elektronik  dalam  Perkara Perceraian
Pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran formil (formeel waarheid). Kebenaran formil didasarkan pada formalitas-formalitas hukum sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Sempurna berarti hakim tidak memerlukan alat bukti lain untuk memutus perkara selain berdasarkan alat bukti otentik dimaksud. Sedangkan mengikat berarti hakim terikat dengan alat bukti otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Alat bukti elekronik sebagaimna tercantum dalam pasal 6 UU ITE menjelaskan bahwa bukti elektronik (informasi dan/atau dokumen elektronik dapat disamakan dengan bukti tulisan apabila memenuhi tiga prinsip dasar yakni informasi dapat disimpan dan ditemukan Kembali, informasi tersebut tidak berubah substansinya dan informasi tersebut menjelaskan  adanya suatu subjek hukum yang bertanggungjawab di atasnya.

Oleh karena itu terhadap alat bukti elektronik kekuatannya dalam pembuktian dapat dilihat kesesuaiannya dengan aturan tentang alat bukti tertulis yang memenuhi pasal 1868 KUH Perdata “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat” atau berdasarkan ketentuan Pasal 301 ayat (1) dan (2) R.Bg. jo. Pasal 1888 KUHPerdata kekuatan pembuktian suatu bukti turunan terletak di akta yang asli. Jika yang asli ada, maka turunan dan kutipannya hanya dapat dipercaya sepanjang sesuai dengan aslinya yang selalu dapat dituntut untuk diperlihatkannya. Atau alat bukti elektronik tersebut diakui oleh lawan, sehingga alat bukti tersebut menurut Pasal 174 HIR didukung pengakuan yang dilakukan di depan sidang sehingga mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat.

III. Penutup
A. Kesimpulan
Kedudukan bukti elektronik dalam perkara perceraian otentifikasi bukti elektronik dipersidangan adalah untuk menilai bukti elektronik tersebut dapat diterima dipersidangan sebagai alat bukti yang sah sehingga dapat meyakinkan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Untuk itu didalam proses persidangan ada beberapa kriteria diperkenankan atau diakui oleh UU untuk dipakai sebagai alat bukti diperkenankan atau diakui oleh UU untuk dipakai sebagai alat bukti, alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya, alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta, alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan.

Kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara perceraian alat bukti elektronik kekuatannya dalam pembuktian dapat dilihat kesesuaiannya dengan aturan tentang alat bukti tertulis yang memenuhi pasal 1868 KUH Perdata, Pasal 1888 KUHPerdata, Pasal 174 HIR.

B. Saran
Untuk menjadikan alat bukti elektronik paling tidak alat bukti tersebut dapat ditunjukkan sumber aslinya dan berkaitan dengan pokok perkara perceraian.

Daftar Pustaka
Suadi,  Amran,  Hukum  Acara  Perdata  dalam  Penyelesaian  Sengketa Ekonomi, 2023, Pranadamedia Group, Jakarta

https://pn-purwakarta.go.id/eksistensi-bukti-elektronik-dalam-pemeriksaan-perkara-di-persidangan.html tanggal akses 09 November 2023

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal-Jenis-Alat-Bukti-dalam-Hukum-Acara-Perdata.html tanggal akses 09 November 2023

https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3048/eksistensi-dokumen-elektronik-di-persidangan-perdata tanggal akses 09 November 2023

Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  11  Tahun  2008  Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik