HAKIM SEBAGAI PENEGAK HUKUM DAN KEADILAN
Oleh: Drs. H. Arpani, S.H., M.H.
(Hakim Tinggi PTA Kalimantan Utara)
A. Hakim sebagai Penegak Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kemudian dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) menegaskan: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Adapun pengertian Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Sedangkan tugas pokok Hakim adalah melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman didaerah hukumnya dan tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diterimanya.
Profisi Hakim adalah merupakan salah satu tugas mulia yang telah ditentukan oleh sang khaliq kepada seseorang makhluk (manusia) pilihannya, karena itu tidak semua orang dapat menyandang menjadi profesi Hakim, kecuali atas izin Allah. Dimana Hakim adalah merupakan pekerjaan yang sangat amat mulia, Sejak awal proses pelantikan ia harus bersumpah untuk menjalankan pekerjaannya dengan selurus lurusnya dan sejujur jujurnya, sehingga ia berhak mendapatkan gelar dengan julukan “Yang Mulia”. Bahkan dikalangan masyarakat pada umumnya menyebutnya sebagai Wakil Tuhan di muka bumi. Kenapa ia disebut sebagai Wakil Tuhan? Karena melalui keputusannya, nasib seseorang ditentukan. Sehingga, pada hakikatnya seorang Hakim merupakan kepanjang-tangan atau sebagai Wakil Tuhan untuk menetapkan suatu hukum.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) (Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Dalam menjalankan fungsinya tersebut seorang Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga, tercapailah tujuan dari penegakan hukum itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan adanya rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam masyarakat.
Pada hakekatnya Hakim yang bertugas di lingkungan peradilan agama tidak berbeda dengan Hakim yang bertugas di lingkungan peradilan lainnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, jadi Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 dijelaskan bahwa yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
Eksestensi Hakim dalam membuat sebuah keputusan harus berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman). Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa “Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Salah satu implementasi Hakim sebagai Wakil Tuhan di muka bumi, maka pada setiap pembukaan dalam pembuatan putusan, Hakim Agama pada peradilan agama wajib menulis, kalimat Bismillahirrahmaanirrahiim. Tanpa adanya kalimat tersebut, putusan Hakim tak mempunyai nilai apa-apa atau non-executable. Hal ini membuktikan bahwa sebagai seorang Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam memutus perkara, tidak hanya sekadar bertanggungjawab pada hukum dan dirinya sendiri, atau kepada pencari keadilan, akan tetapi juga ia harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Allah Swt.
B. Hakim dilarang menerima Suap
Sebelum kita akan membahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita lebih dahulu mengetahui istilah kata Suap dalam bahasa Arab disebut rasywah atau rasya, yang secara bahasa bermakna memasang tali, mengambil hati.
Dari definisi tersebut, secara konkret dapat dipahami bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada Hakim atau pejabat lainnya dengan segala bentuk dan caranya. Sesuatu yang diberikannya itu adakalanya berupa harta atau sesuatu yang bermanfaat bagi si penerima, sehingga keinginan penyuap terwujud, baik secara hak maupun batil.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa tugas seorang Hakim adalah Melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman didaerah hukumnya dan tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, dimana profisi seorang Hakim yang dianggap mulia, jangan sekali-kali dinodai dengan secercah harapan dan bayangan semu saja, serta ada rasa ingin mendapatkan imbalan (rasywah) yang pada hakekatnya akan menghancurkan martabat Hakim sebagai Wakil Tuhan di muka bumi.
Dalam sejarah peradaban Islam pada zaman Rasulullah Saw, dimana beliau pernah mengutus seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah ke pemukiman orang Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dilunasi, kemudian mereka menyodorkan sejumlah uang. Apa reaksi Abdullah kepada orang Yahudi, lalu ia mengatakan, “Suap yang kamu sodorkan kepadaku itu haram, karena itu kami tidak akan menerimanya.” (HR. Malik).
Dari hadis tersebut di atas, nampak jelas bahwa apabila penerima suap itu menerimanya, justru tindakan itu sebuah kenistaan dan perbuatan zalim, maka sungguh berat sekali dosa yang diterimanya kelak. Dan bagi seorang Hakim yang betul-betul melaksanakan tugasnya untuk menegakkan keadilan di muka bumi ini, sepatutnya kalau ada orang yang ingin memberikan imbalan berupa apapun bentuknya, harus ditolak secara tegas.
Kalau kita mencermati akan sebuah hadits Rasulullah Saw dalam sabdanya berbunyi : La’ana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam al-rasyi wal murtasyi wa al-ra-isy – Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya. (HR. Ahmad dan Thabrani).
Mengingat besarnya bahaya yang ditimbulkan dari suap, pungli, sogok-menyogok dan sejenisnya, maka para ulama merekomendasi, bahwa bagi mereka dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Hukuman ini dapat diberlakukan bagi pejabat atau Hakim yang melakukan suap dan sejenisnya, bahkan bisa dilakukan pemecatan dari jabatannya.
Menurut Pasal 418 KUHP menyebutkan : Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa ayng dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang menghadiahkan atau berjanji itu ada berhubungan dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
Adapun ancaman bagi seorang Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 ayat 1 KUHP. Berbunyi Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun dihukum: 1e. “Hakim yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi keputusan suatu perkara yang diserahkan pada pertimbangannya”.
C. Hakim bersikap Netral dan Independen
Pengertian sikap netral adalah sikap yg dimiliki seseorang yang mempunyai sifat biasa saja. Dia tidak menunjukkan sifat sombong, angkoh akan tetapi dia mempunyai sifat rendah hati.
Sedangkan pengertian dari Independensi adalah sikap mental yang bebas dari terpengaruh, tidak dikendalikan pihak lain, tidak tergantung pada orang lain, independensi juga berarti kejujuran dalam diri sendiri untuk mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
Dalam hal ini sebagai seorang Hakim wajib bersikap netral dan mempunyai berperilaku mandiri (independen) guna memperkokoh/ memperkuat keyakinan pada dirinya dan menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga, instansi badan peradilan. Semua negara telah mengambil langkah untuk memperkuat integritas untuk mencegah peluang korupsi di peradilan.
Adapun sikap yang harus dimiliki oleh seorang Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara adalah harus mengikuti dan berpedoman kepada hukum acara yang berlaku baik secara formil dan materil, bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku dan tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau anti pati terhadap pihak-pihak yang berperkara serta harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Kebijakan Hakim dalam memutuskan suatu perkara guna terwujudnya rasa keadilan. Oleh karena itu untuk menuju suatu keadilan tersebut diperlukan standard norma hukum sebagai patokan bagi para Hakim dalam memutus perkara.
Daftar Pustaka/Bahan Bacaan
Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi 2007, Jakarta, 2008.
Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan, Himpunan Peraturan Per Undang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004.
Artidjo Alkostar, Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman, Seminar Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim seluruh Indonesia, Lombok, 2012.
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2001.