PERANAN ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN DI PERADILAN AGAMA
OLEH :
Drs. H. ARPANI, S.H., M.H.
(Hakim Tinggi PTA Kaltara)
A. PENDAHULUAN
Pembuktian adalah Salah satu peranan penting dalam tahapan persidangan di pengadilan. Dalam hal suatu peristiwa tidak cukup hanya dengan mendalilkan saja, namun peristiwa tersebut harus dibuktikan akan keabsahan dan kebenarannya di hadapan persidangan, sehingga hakim dalam memutus atau menetapkan suatu perkara harus mempunyai keyakinan dan kepercayaan secara mandiri tanpa ada intervensi dari pihak lain dan putusannya dapat dipertanggungjawabkan.
Peran alat bukti merupakan salah satu posisi yang sangat penting dalam tahapan persidangan di pengadilan, terutama di Pengadilan Agama. Karena landasan hakim dalam memutuskan gugatan atau menetapkan permohonan dalam beracara di Pengadilan Agama adalah bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak di persidangan yang diserahkan kepada majelis hakim. Sehingga hakim dalam memutus perkaranya sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku di peradilan agama.
Berdasar ketentuan yang terlaku dalam Hukum Acara Perdata, diatur alat-alat bukti yang sah untuk diajukan dalam tahapan acara pembuktian di persidangan. Masing-masing alat bukti yang diajukan memiliki nilai kekuatan yang berbeda antara bukti satu dengan lainnya. Sehingga kekuatan pada masing-masing alat bukti memiliki perbedaan dalam mempengaruhi hasil hukum.
B. PENGERTIAN
Bukti : adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa, keterangan nyata atau tanda.
Alat Bukti : adalah segala sesuatu hal maupun benda yang ada hubungan dan kaitannya dengan suatu kejadian atau peristiwa tertentu.
Alat Bukti Elektronik : adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE (Pasal 5 ayat (1) UU ITE) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
C. PERAN ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN
1. Persamaan hak-hak para pihak di persidangan
Setiap orang atau para pencari keadilan dihadapan hukum diperlakukan hak-haknya yang sama dimuka persidangan, keinginan di dengar bersama dengan lawannya di muka pengadilan. Jangan sampai salah satu pihak didengar sedangkan pihak liannya tidak didengar. Mendengar kedua pihak di persidangan memenuhi asas kesamaan, suatu postulat keadilan (equality before the law). Bukan hanya para pihak saja yang membutuhkan perlakuan yang layak atau fair di muka pengadilan. Subjek-subjek hukum lain yang berperan di muka sidang seperti pengacara, saksi dan sebagainya memerlukan perlakuan yang sama secara layak dan manusiawi.
Kedudukan para pihak dalam mengajukan alat bukti di persidangan diperlakukan sama dan berimbang, dimana masing-masing para pihak berhak untuk mengajukan pembuktianya di hadapan persidangan. Adapun pembuktian masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
- Penggugat yang mendalilkan adanya suatu hak atau adanya suatu keadaan yang menjadi dasar adanya hak harus membuktikan (dibebani pembuktian).
- Tergugat yang membantah hak orang lain harus membuktikan bantahannya itu.
- Tergugat tidak boleh dibebani pembuktian untuk membuktikan kebenaran dalil gugat penggugat, kec. UU menentukan lain.
Sedangkan yang tidak perlu dibuktikan oleh para pihak adalah sebagai berikut:
- Dalam hal putusan verstek, kecuali Undang-Undang menetukan lain.
- Fakta yang sudah diakui oleh tergugat, kecuali Uundang-Undang menentukan lain.
- Dalam hal telah dilakukan sumpah decisoir.
- Dalam hal jawaban bersifat referte, yakni bantahan tidak cukup atau tidak jelas.
- Fakta yang bersifat natoir (peristiwa alam).
- Fakta yang terjadi di persidangan karena hal ini menjadi pengetahuan hakim.
- Fakta yang sudah menjadi pengetahuan umum atau kejadian yang bersifat rutin.
- Fakta yang bersifat negatif (tidak ada).
- Fakta yang berdasarkan hukum asal
2. Analisis pembuktian di persidangan
Dalam hal ini dimana hakim dalam memeriksa suatu perkara harus lebih dahulu melihat, meneliti dan menganalisa alat-alat bukti yang disampaikan oleh para pihak dihadapan persidangan, sehingga hakim dapat menentukan hal-hal sebagai berikut:
- Pisahkan fakta yang tidak perlu dibuktikan dan yang masih harus dibuktikan.
- Menilai kekuatan pembuktian setiap alat bukti sehingga dapat diketahui alat bukti apa membuktikan apa.
- Apakah alat bukti lawan dapat melumpuhkan alat bukti penggugat.
- Simpulkan hasil pembuktian.
- Alat Bukti menurut Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata
- Bukti tertulis/surat (Psl. 165 HIR/285 RBg);
- Bukti Saksi(Psl.139-152,168-172 HIR/165-179 RBg)
- Persangkaan (Psl. 173 HIR/310 RBg);
- Pengakuan (Psl. 174 HIR/311 RBg);
- Sumpah (Psl. 155 – 156 HIR/182-183 RBg);
D. KEDUDUKAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN
Dimasa Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi, dimana hubungan antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas teritorial negara (borderless).
Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti e-mail, chating video, video teleconference, situs website, facebook, dan sebagainya, telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas Negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, telah menegaskan bahwa: Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik begitu juga hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diakui menjadi alat bukti hukum yang sah dalam undang-undang tersebut, sebagai “perluasan” terhadap alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (Pasal 5 ayat (2) UU ITE).
Berdasarkan (Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 ttg ITE) menegaskan bahwa: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. (Pasal 5 ayat (1) UU ITE).
Bertolak dari ketentuan pasal tersebut maka jenis alat bukti elektronik dapat dirinci yaitu :
1) Informasi elektronik;
2) Dokumen elektronik;
3) Informasi elektronik dan dokumen elektronik dan hasil cetaknya;
4) Informasi elektronik dan hasil cetaknya;
5) Dokumen elektronik dan hasil cetaknya;
6) Hasil cetak dari informasi elektronik, dan
7) Hasil cetak dari dokumen elektronik.
Eksistensi alat bukti elektronik, sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1) UU ITE, berupa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik begitu juga hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diakui menjadi alat bukti hukum yang sah, sebagai ”perluasan” alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Alat bukti elektronik (digital evidence) berupa hasil cetak/print out dari informasi/dokumen elektronik sudah sangat lazim dipraktikkan pada Peradilan Agama dalam perkara perdata.
Syarat formil alat bukti elektronik (digital evidence) tidak harus dalam bentuk tertulis, hasil cetak/print out dari informasi/dokumen elektronik dimasukkan pada bagian alat bukti tertulis/surat yang bermeterai pos (nazegelen) dipertimbangkan sebagai bukti persangkaan atau sebagai bukti permulaan, sedangkan syarat materiilnya adalah digital evidence harus dapat dijamin keotentikannya, dan ketersediaanya oleh saksi ahli digital forensik.
Adapun persyaratan yang harus diperhatikan dalam mengajukan alat bukti secara elektronik adalah sebagai berikut:
- Admisible, diperkenankan oleh UU untuk dipakai sebagai alat bukti.
- Reliability, dapat dipercaya keabsahannya.
- Necesity, diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
- Relevance, ada relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
- Dapat dipertanggungjawabkan oleh penyidik.
- Dapat diterangkan (rekonstruksi) oleh ahli.
Sedangkan kedudukan alat bukti elektronik di persidangan adalah merupakan Informasi elektronik dan atau dokumentasi elektronik dapat dipersamakan dengan Akta Autentik bila terpenuhi syarat-syaratnya sebagai berikut:
- Penyelenggara sistem elektronik yang netral, yang berjalan dengan baik tanpa gangguan.
- Sistem elektronik dilegalisasi atau dijamin oleh pihak professional yang berhak.
- Sistem elektronik berjalan sebagaimana mestinya tidak disangkal pihak lain.
E. PENUTUP
Sebagaimana uraian dan analisa yang dipaparkan dimuka maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :
- Alat bukti adalah segala sesuatu hal maupun benda yang ada hubungan dan kaitannya dengan suatu kejadian atau peristiwa tertentu.
- Para pihak dapat membukti dihadapan persidangan, apabila:
2.1) Penggugat yang mendalilkan adanya suatu hak atau adanya suatu keadaan yang menjadi dasar adanya hak harus membuktikan (dibebani pembuktian).
2.2) Tergugat yang membantah hak orang lain harus membuktikan bantahannya itu.
2.3) Tergugat yang membantah hak orang lain harus membuktikan bantahannya itu.
2.4) Tergugat tidak boleh dibebani pembuktian untuk membuktikan kebenaran dalil gugat penggugat, kecuali UU menentukan lain. - Eksistensi alat bukti elektronik, sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (1) UU ITE, berupa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik begitu juga hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diakui menjadi alat bukti hukum yang sah, sebagai ”perluasan” alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
- Alat bukti elektronik (digital evidence) berupa hasil cetak/print out dari informasi/dokumen elektronik sudah sangat lazim dipraktikkan pada Peradilan Agama dalam perkara perdata.
- Alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti sah dan dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya oleh saksi ahli digital forensik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Prof. Dr, S.H. S.Ip. M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006.
Hensyah Syahlani, S.H., Pembuktian Dalam Beracara Perdata & Teknis Penyusunan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, Jakarta, CV. Grafgab Lestari, 2007.
Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)