PROBLEMATIKA NIKAH DI BAWAH TANGAN KAITANNYA

DENGAN PENGESAHAN NIKAH

Oleh: Drs. H. Arpani, S.H., M.H.

(Hakim Tinggi PTA.Kalimantan Utara)

A. Problematika Nikah di bawah Tangan.

Perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri, kawin syar’i dan kawin modin sering pula disebut kawin kyaiSejumlah persoalan muncul akibat dari perkawinan tersebut, tidak saja problem hukum dari pernikahan tidak tercatat ini, tetapi juga menjadi permasalahan sosial yang timbul di tengah masyarakat.

Perkawinan di bawah tangan atau Nikah Sirri tidak tercatat menimbulkan problematika hukum yang tidak sedikit. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa dampak perkawinan yang tidak dicatatkan antara lain adalah :

  1. Perkawinan dianggap tidak sah (hukum positif);
  2. Anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya;
  3. Anak dan ibunya tidak berhak atas harta gono-gini dan warisan;
  4. Pihak lelaki atau suami tidak bisa menuntut haknya atas harta bersama selama mereka berada dalam perkawinan di bawah tangan;

Dampak adanya praktik nikah di bawah tangan, tidak hanya dirasakan oleh pelakunya, tetapi yang paling merasakan adalah anak yang lahir dari praktik nikah di bawah tangan itu. Padahal anak sama sekali tidak berdosa dan tidak tahu apa yang terjadi, tetapi anaklah yang dikemudian hari paling merasakan kesulitannya.

Isbat nikah yang selama ini dianggap solusi penyelesaian perkawinan dibawah tangan yang ditawarkan Undang-Undang sekarang pun tidak lepas dari permasalahan. Banyak hal yang harus dicermati dalam permohonan isbat nikah ini, sehingga hakim pun dalam memeriksa perkara isbat nikah harus selektif dan berhati-hati sehingga kesan menggampangkan pengesahan nikah melalui isbat nikah tidak terjadi.

Terkait masalah status hukum perkawinan di bawah tangan, sebagian menilai bahwa nikah di bawah tangan adalah sah secara agama sementara secara perundangan-undangan belum mempunyai kekuatan hukum.

Pada kesempatan ini penulis tidak ingin larut dalam kontradiksi tersebut, tidak ingin mengklaim sah dan tidaknya nikah. Penulis hanya ingin memfokuskan bagaimana pernikahan di bawah tangan yang banyak dilakukan masyarakat atau yang tidak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi dari pemerintah yaitu dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah setempat, tidak menimbulkan masalah baru bagi pelaku dan keturunannya.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan :

  • Pasal 2 ayat (1) berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  • Pasal 2 ayat (2) berbunyi : “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan per-undang-undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) di atas, menunjukkan dengan jelas apabila perkawinan dilakukan menurut agama adalah sah, perkawinan yang berdasarkan agama Islam yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Sementara masih banyak masyarakat kita beranggapan bahwa apabila perkawinan itu dianggap sah sehingga tidak perlu lagi dicatatkan dan tidak ada satu Pasal pun dalam peraturan per-undang-undangan yang berlaku yang memberikan daya paksa terhadap masyarakat bahwa yang tidak mencatatkan perkawinannya akan dikenai sanksi hukum.

Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam berdasarkan :

  • Pasal 7 ayat (1) bahwa : “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
  • Pasal 7 ayat (2) bahwa : “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat mengajukan istbat nikahnya ke Pengadilan Agama”
  • Pasal 7 ayat (3) bahwa : “Itsbat nikah hanya dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal- hal yang berkenaan dengan :
  1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. Hilangnya Akta Nikah;
  3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
  5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

Penjelasannya bahwa perkawinan yang dilaksanakan di bawah tangan sudah jelas tidak memiliki Akta Nikah, maka bagi masyarakat yang  nikahnya dibawah tangan secara outomatis  tidak mempunyai Akta Nikah, namun dalam hal ini  masih ada jalan keluarnya agar pernikahan yang telah dilaksanakan tadi dapat diakui oleh negara (pemerintah) maka  dapat mengajukan isbat nikah (pengesahan nikah) ke Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara isbat nikah, tentunya harus memberikan pelayanan terbaik bagi pencari keadilan agar permasalahan nikah di bawah tangan yang dilaksanakannya atau karena tidak punya Akta Nikah dapat segera teratasi, sehingga problematika yang terkait hal-hal keperdataan bagi pasangan suami istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan ini terselesaikan dengan baik.

 

B.  Perkawinan di bawah Tangan Kaitannya Dengan Pengesahan Nikah.

Perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri mempunyai dampak yang sangat luas dan berbagai persoalan muncul akibat dari perkawinan tersebut, tidak saja problem hukum dari pernikahan tidak tercatat ini, akan tetapi juga berdampak pada permasalahan sosial kemasyarakatan.

Berbagai problem hukum yang dijumpai bagi pasangan suami istri dan anak-anaknya yang dilahirkan akibat dari perkawinan di bawah tangan dan mereka akhirnya mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama.

Adapun permasalahan yang sering timbul dalam perkara isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah antara lain :

  1. Suami istri telah menikah secara di bawah tangan sehingga tidak mempunyai Akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama namun belum diakui oleh negara (pemerintah). Akibatnya anak-anak tidak dapat memperoleh Akta Kelahiran dari instansi yang berwenang dalam hal ini ditangani oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Setempat, karena untuk mendapatkan Akta kelahiran itu diperlukan Akta nikah dari orang tuanya. Pernikahan mereka ini ada yang dilangsungkan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kemudian suami istri tersebut mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama;
  2. Suami istri yang melangsungkan pernikahan sesudah tahun 1974 tidak mengetahui kalau pernikahannya tidak tercatat, karena mereka merasa dinikahkan oleh penghulu resmi dan membayar sejumlah biaya pernikahan, namun pada saat memerlukan buku nikah tersebut, ternyata oleh Kantor Urusan Agama setempat menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak tercatat dalam buku register Pegawai Pencatat Nikah;
  3. Suami istri untuk mengurus persyaratan administrasi seperti :
    1. Berangkat Umrah dan Haji;
    2. Mengurus Pensiun;
    3. Pembuatan Akta Kelahiran Anak;
  4. Suami istri menikah secara sirri kemudian terjadi sengketa perkawinan, suami mengajukan permohonan isbat nikah untuk bercerai dan adapula istri (Penggugat) yang mengajukan isbat nikah untuk bercerai karena telah ditinggal pergi oleh suaminya, guna memperoleh kepastian hukum tentang status dirinya sebagai janda;

 

C. Kesimpulan.

 

  1. Problematika yang timbul akibat dari pernikahan di bawah tangan sangat besar dampaknya bukan hanya kepada pihak suami dan istri, namun akibat tersebut sangat dirasakan oleh anak-anaknya, dimana orang tuanya tanpa mempunyai Buku Akta Nikah, yang mengakibatkan anak-anaknya tidak dapat mengurus administrasi sebagai persyaratan perlengkapan untuk membuat Akta Kelahiran Anak yang dalam hal ini dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah yaitu Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kabupaten setempat;
  2. Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara Isbat Nikah, tentunya harus memberikan pelayanan terbaik bagi pencari keadilan agar permasalahan nikah di bawah tangan yang dilaksanakan atau karena tidak punya Akta Nikah dapat segera teratasi, sehingga problematika yang terkait hal-hal keperdataan bagi pasangan suami istri dan anak-anak yang lahir dari akibat perkawinan di bawah tangan ini dapat terselesaikan dengan baik.

Daftar Pustaka.

 

Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi 2007, Jakarta, 2008.

Dally, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cetakan ke-2, 2005.

Djamil, Fathurrahman, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuensinya Terhadap Anak dan Harta, Jakarata: GT2 dan GG Pas, Mei 2007.

Lange, Marcus, Kata Pengantar Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pemerintah, Jakarta: GT2 dan GG Pas.

Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan, Himpunan Peraturan Per Undang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004.